Sebuah Kerinduan
15 Mei 2018
Kendaraan sepeda motorku membawaku menyusuri jalan meninggalkan sebuah umah ibadah di sekitaran Pandaan. Pelan kupacu motorku sambil lamat - lamat tetap kulantunkan istigfar memohon ampunan keharibaan Allah SWT atas segala dosa, khilaf serta kealfaan dii selama ini.
Suasana menyambut datangnya bulan Ramadhan 1439 Hijriah semakin terasa di sepanjang perjalanku menuju Sidoarjo. Bukan hanya spanduk - spanduk yang bertuliskan selamat datang ramadhan, tetapi juga suasana masjid - masjid serta ramainya orang yang mulai berjualan pernak pernik makanan berbuka. Sejuknya suasana ramadhan di luaran sana ternyata bertolak belakang dengan suasana hatiku yang mungkin sedang kacau melayang entah kemana. Prahara rumah tangga yang beberapa bulan ini aku alami mungkin menjadi musababnya. Aku mencoba untuk fokus dalam untaian istigfarku walau hatiku masih bekelana di ruang hampa antah berantah.
Kecepatan motor pelan – pelan aku kuangi saat memasuki
perkampungan dekat dengan letak pemakaman ibunda tercintaku. Aku parkir sejenak
sepeda motorku, bergegas kulangkahkan kakiku memasuki aeal pemakaman. Pusara
itu masih basah walau sudah sekitar 200 hari sejak berpulangnya ibunda
tercinta. Sejenak aku duduk di antara pusara ibu yang begitu sayang kepadaku,
tak pelak saat ke sentuh nissannya meleleh deras air mata ini. Seakan ingin
bercerita tentang apa yang tejadi saat ini di keluarga kecilku. Maklumlah ibu
yang selama ini sering menjadi tempat saling sharing berbagai pemasalahan atau apapun yang bisa dijadikan diskusi. “
Maafkan Ony mam, jika tidak bisa menjaga amanah yang mama berikan. Sepertinya
pernikahan yang mama gagas waktu itu akan berakhir mam, ada banyak perubahan
sikap Widya yang mungkin merupakan kesalahan Ony juga penyebabnya”, ucapku
seakan mengadukan semua permasalahan pada pusara yang masih basah itu. Lama aku
duduk di dekat pusara ibu, sambil bercerita sekaligus merangkaikan untaian doa untuk
beliau. Setelah cukup waktu dan lega menumpahkan segala perasaan di hati aku
langkahkan kakiku meninggalkan pusara ibunda.
Aku arahkan motorku ke seorang rekan di bilangan jalan Gajahmada Sidoarjo,
panggilannya Om Gembos. Aku juga nggak ngerti kenapa dia dipanggil Gembos,
padahal klo lihat nama panjangnya ya gak jelek,
Zaenal Abidin begitu nama aslinya. “Ono masalah opo pak On, kok wingi
gak mbok bales blas rek WA ku”, sambutnya dengan basa Surabaya yang medog.
“ Mosok bojomu maneh pak On,
seng sabar wae ngerdepi ngono kuwi, njaluk nang Seng Gawe Urip wae tur khusyuk”,
lanjutnya tanpa sempat aku menjawabnya sepeti Om Gembos tahu persis ona apa
yang berkecamuk dalam hatiku. “ Kulo sampun berusaha sabar Cak, nanging mungkin
kuang membuktikannya”, tungkasku merajuk. Sambil menepuk bahuku Cak Mbos begitu
aku memanggilnya menyuruhku untuk segera ganti – ganti sambil membesihkan diri,
“Wes kono adus – adus sek pak On...karo Dhuhuran sek kono, mengko lek wes ayo
diskusi”.
Bagiku Cak Gembos bukan oang lain kami begitu akrab semenjak duduk di
bangku SMP dulu bahkan SMA pun kami satu sekolahan, yang gak nyangkanya khan
istri Cak Gembos dulunya adalah mantan pacarku boleh dibilang
githu.....hehehehe. Makanya klo main ke rumahnya kadang dengan berkelakar Cak
Gembos godain, “ Ummi mantan pacarmu datang buatin kopi sianida ya ben cepet
moleh....”. Cak Gembos ini kadang misterius tapi soal agama aku selalu
berdiskusi panjang dengannnya. Sapa juga yang nyangka klo dia itu cucu dari KH
Abdur Rahman Wahid (Gus Dur) dan cicit dari KH. Hamid dari Pasuruan, mungkin
itu yang mendasari agamanya kuat lha dilahikan lingkungan seperti itu.
Selepas dhuhur, cak Gembos mengajakku berdiskusi tentang permasalahan yang
aku hadapi di selasar tokonya. “ Gini kang, masalah umah tangga itu kudhu
dibahas hati – hati banget, kalo gak buyar. Masalah yang kang Ony alami, aku
khan pernah merasakannya bahkan ketika dari kedua istriku yang ngajukan tho
kang”. Disebut dua istri karena memang
Cak Gembos ini poligami dan alhamdulillah hingga saat ini keduanya akur – akur saja.
“ Pean koreksi diri disik wae kang, muhashabah...oang lain iku gak iso diubah
yen awak dewe ra berubah”, Cak Gembos memulai pembicaraan dengan sebuah saran
membangun bagiku. Aku rasa memang saran itu yang aku tunggu yang sama dengan
warna hatiku tapi dimana tempatnya, karena setahuku hanya pondok saja yang bisa.....iya
tapi dimana letaknya. Kalo aku waktu itu menyatakan ke Bilqis gadis kecilku
semata karena aku ingin menenangkan diri di sebuah pondok pesanten sambil
belajar ilmu agama, tapi dimana alamat pondok tersebut aku tidak tahu.
“ Ngene kang awakmu istirahato sek mari ashar telponen Bilqis...anakmu
pasti kangen papane. Kita lanjut diskusi karo mlaku – mlaku lan mengko tak
kasih tahu pondok seng cocok gawe ente...awakmu pingin nang pondok tho”, Cak
Gembos tiba – tiba berucap kembali seakan sudah menebak warna hati yang aku
inginkan.
~~~~~~~~~~~~~########~~~~~~~~~~~~
Aku ambil handphoneku untuk sejenak melepas kangenku ke gadis kecilku yang
mungkin akan bertanya – tanya sudahkah ayahnya sampai di pondok serpeti yang
dia terima dari apa yang dikatakan ayahnya. Sejenak aku ragu jangan – jangan ketika
nati yang menerima telpon bukan si Bilqis tetapi Widya... “ ah semoga saja mbak
Inem pembantu paruh waktuku masih ada di rumah saat aku telpon nanti”, kataku
dalam hati.
“ Hallo, assalamualaikum”
“ Inggih, waalaikumsalam....puniko sinten kulo Inem”, jawab dai handphone jauh
di Malang sana. Alhamdulillah ternyata Inem pembantuku yang menerimanya
“ Mbak, dik Bilqis mana ngaji apa masih sama kamu “
“ Puniko, Pak Ony tho....inggih puniko dik Bilqis kalian kulo pak, kulo
panggil rumiyin”, jawab Inem sambil terdengar lamat - lamat dia manggil nama
anak gadisku.
“ Ayah...ayah...assalamualaikum...ini Bilqis ayahhhh”, gadis kecilku memulai percakapannya. Tanpa
terasa air mata meleleh ketika aku dengar suara gadis kecilku di sana.
“ Iya sayang in...in...ini ayah sayang”, jawabku agak tersendat oleh sembab
air mataku. “ Ayah masih di Sidoarjo sayang, tadi habis dari makam nenek, kasih
bunga di makam nenek”
“ Owhh....kok lom ke Pesantren ayah....katanya mau muhashabah”
“ Iya sayang khan ke makam nenek dulu....Bilqis ngaji ya sayang...emang
adik tahu apa itu muhashabah”
“ Tahuuuuuuuuuu.....mbak Inem sama Ustadzah tadi ayah, artinya khan memohon
ampun ya yah sambil koreksi diri. Emang ayah punya salah apa yahhh”
Agak lama aku terdiam mendengar pertanyaan gadis kecilku....bingung aku harus
menjawab apa.
“ Ayah punya banyak salah sama.......Allah, sayang...ayah dosanya buanyak
jadi harus pake ngaji dulu kayak Bilqis di ustadzah Khalida”
“ Iya ayah...tapi ayah pulangkan setelah nanti nanti kalo selesai di
pondok....Bilqis kangen ayah, Bilqis kangen dipeluk ayah sama diceritain nabi –
nabi lagi”, pintanya seraya merengek.
Tiba – tiba terdenga nada gadis kelcilku menangis sesenggukan di ujung
pembicaraannya......” Ayah pulang ya yah////Bilqis kangen ayah.....”/
Ku tak bisa berkata – kata lagi menjawab telephon gadis kecilku, hanya
anggukan kepala yang mungkin tidak dilihatnya dan kata dalam hati, “ Iya sayang....ayah
pasti pulang”.
Sebuah kerinduan ....yang tak bisa aku gambakan nilainya......sebuah
keinduan yang harusnya tak boleh aku hancukan oleh tumpukan kesalahan –
kesalahamku....
“ Ayah juga kangen .....”
~~~~~~~~~~~~~~##############~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~##############~~~~~~~~~~~~~~~~~
Sore itu satu kerinduan terwajab sudah walau masih banyak kerinduan
– keriduan yang lain yang masih belum
menemukan arah kemana harus mencari jalan penyalurannya.
Setelah magrib aku dan Cak Gembos pergi bersama ke sebuah surau di dekat
tambak di daerah Candi. Suasana tempatnya sangat sepi tetapi syahdu jika
digunakan sebagai tempat merenung dan mensyukuri karya agung ciptaan Allah SWT.
Betapa tidak di tempat itu ada sungai yang mengali ke muara yang terlihat begitu
bening walaupun hanya diterangi temaram sinar bulan dan kelip bintang. Sejenak
aku tercengang di daerah kota ternyata masih ada tempat seperti ini.
“ Piye tadi dengan Bilqis, pasti kangen banget ya sama ayahnya”, Cak Gembos
memulai pembicaraan.
“ Iya Cak, pastinya....anak itu khan gak penah jauh dari aku”, jawabku
dengan wajah yang masih menyimpan sebuah rasa kangen yang mendalam.
“ Kok pean bisa nemu aja tempat seperti ini cak ?’’, tanyaku membelokkan
arah pembicaraan.
“ Aku janne yo nemu panggon iki, anggap saja kuasaNYA Sang Pencipta bisa
menemukan tempat yang baik untuk bermuhashabah diri”.
“ Kang Ony, soal masalah njenengan itu sebetulnya bukan sebuah masalah
rumit...tetapi hanya masalah berbagai kerinduan – kerinduan yang mungkin belum
tersalukan jalannya saja”. Cak Gembos menjelaskan seraya menguraikan
permasalahan yang sedang aku hadapi.
“ Njenegan ini sebenarnya sangat rindu dengan Allah, rindu apa itu ? Rindu
untuk bercakap – cakap denganNya. Kedua istri njenengan rindu adanya komunikasi
dengan njenengan, selain itu dia rindu
kepada sosok suaminya yang bisa memberikan keteduhan, memberikan ilmu terutamanya
ilmu agama. Gadis mungilmu juga kangen sosok ayahnya yang selalu bercerita tentang
kebesaran Allah. Semua kerinduan itu sebenarnya yang sedang sampean cari saat
ini bahkan harus pean kumpulkan untuk membenahi diri”
Aku hanya terdiam saja sambil menyelami apa
makna besar yang dijelaskan Cak
Gembos. Dari semua penuturannya tidak ada yang salah sama sekali aku memang
sangat rindu bahkan teramat rindu untuk mengadukan semua persoalan hidup serta
bemesra – mesraan lagi dengan Sang Khaliq dalam keheningan malam. Benar aku
merasa sosokku menghilang entah kemana sehingga mungin dilam sosok yang lain itu
aku mengalami kealfaan sehingga lupa berkomunikasi dengan gadis kecilku,
istriku dan semua orang yang mungkin begitu dekat denganku. “ Aku memang mencai
sosokku yang hilang cak sebuah sosok yang selalu aku rindukan, karena dahulu
sosok itu yang sangat dekat dengan Sang Khaliq dan kini menghilang entah
kemana”, jawabku dalam hati
“ Iya cak...aku sangat rindu menjadi Ony yang dahulu”, jawabku sambil
tertunduk lesu sambil menyadari bahwa hati ini sedang rindu dengan Sang Khaliq.
“ Dirimu bukan yang tak kenal dahulu memang Kang, Ony yang dulu begitu
tunduk dan tawadhu dalam doa, suka di masjid dan sebagainya. Apa kehidupan
mengubahmu segitunya sampai Sang Maha sendiri yang menyentilmu karena rindu
untaian doamu, tangis tahajudmu dan ibadah lain yang seing waktu itu kang Ony
lakukan. Kemana pean, lalu apa yang pean lakukan Kang....sampai Gusti Seng Gawe
Urip memberi peringatan ke njenengan”,
Cak Gembos mengakhiri kata – katanya dengan sebuah pertanyaan menghujam.
Pertanyaan di akhir kata – kata yang mungkin jika aku jawab dibutuhkan
terlebih dahulu mengurai warna hatiku yang sedang kacau dan berubah menjadi
sosok yang lain waktu itu, dan saat kembali menjadi sosok lama aku baru
tersadar bahwa aku dalam sebuah kesalahan besar dan itupun terlambat. Masih saja
terdiam aku sambil merenungi apa yang dikatakan cak Gembos hingga tanpa terasa
air mata meleleh pelan membasahi mataku. “ Astagfirllah....aku telah alfa....”,
kataku merintih seakan menyadari kesalahanku.
Melihat diriku yang tenggelam dalam sebuah penyesalan yang teramat, Cak
Gembos memberikanku sebuah sajadah sambil berkata “ Sholatlah dan berkhalwatlah
dengannya sepenuh hati njenengan Kang, mungkin belum terlambat untuk kembali ke
Sang Khaliq, minta ampunlah kepadaNYA. Sekalipun bagi kita sudah terlambat
karena semua persoalan akhirnya menghimpit kita, Gusti Allah punya solusi indah
dibalik hikmah panjang yang mungkin bagi kita seperti musibah”. “ Iktikaflah disini
dahulu semalam, mungkin dengan begini hatimu yang sedang keruh akan menemukan
kebeningannya, sekalipun perpisahanmu sudah di depan mata pasti ada solusi
indah dari Gusti Allah kang, laa tahzan….ojo sedih.”, sambungmya memberikan
semangat agar aku segera lepas dari persoalanku.
“ Iya cak, lho sampean
mau kemana……”, tanyaku saat melihat cak
Gembos yang beranjak meninggalkanku.
“ Ngecharge sek kang……hehehehehe
mumpung. Mosok awak kekar koyo pean wedhi karo mbak Kunti, paling malah mbak
Sun karo mbak Kunti seng terpesona pean kang. Assalamualaikum”, kelakanya
sambil meninggalkanku.
“ Asyemmmmm……”, jawabku
dalam hati, masih bisanya dia bercanda menghibur temannya yang kalut ini.
Malam itu aku sendiri
di surau di dekat area tambak di daerah Candi Kabupaten Sidoarjo. Sayup – sayup
desir angin tambak serta suara katak maupun derik jangkrik menemaniku malam itu. Pelan aku
melangkah ke pancuran air di salah satu sudut surau. Kumulai perjalanan
hijrahku malam itu….Bismillah….Allahu Akbar. Tangis penyesalan dan sepenuhnya
kuserahkan semua perjalanan hidup ini
kepadaMu Sang Khaliq.
~~~~~~~~~~~~~~##########~~~~~~~~~~~~~~
Komentar
Posting Komentar